Minggu, 06 Mei 2012

ASPEK TULISAN HALAL DALAM SEGI HUKUM EKONOMI



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
        Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas (± 88%) penduduknya beragama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produksi pangan segar asal hewan khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pengaturan jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan memerlukan pengkajian terlebih dahulu, antara lain analisis kandungan unsur haram dan najis, pemingsanan, pemotongan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran melalui pengendalian titik kritis, sehingga dapat diketahui proses pemotongan, penanganan, distribusinya sampai ke tangan konsumen.
        Mengingat pentingnya masalahan kehalalan karkas, daging dan jeroan, maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, menyatakan bahwa label pangan memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Dalam Pasal 58 diatur mengenai sanksi yang diberikan dengan ancaman pidana maksimal 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda Rp 360 juta, apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.
        Disamping itu, menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Demikian juga dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, terdapat 3 (tiga) pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal yaitu dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11. Ketentuan mengenai halal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 924/MENKES/SKVII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yaitu dalam Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 11 ayat (1) dan (2).
        Selain itu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan karantina hewan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan diamanatkan pada Pasal 8 bahwa dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan atau hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 serta dipertegas kembali pada Pasal 5 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap produk asal hewan khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun tidak secara spesifik mengatur tentang persyaratan kehalalannya.
        Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, juga mengatur mengenai kehalalan yaitu dalam Pasal 58, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan , pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal. Dalam pasal tersebut juga diatur bahwa produk hewan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
        Dalam upaya menerapkan sistem jaminan kehalalan terhadap pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke Indonesia, maka perlu adanya pengaturan dari aspek pengawasan kehalalan di tempat-tempat pemasukan dalam wilayah kerja UPT Karatina Pertanian. Oleh sebab itu perlu disadari bahwa aspek-aspek kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dari luar negeri tidak semuanya dapat dideteksi sekalipun dengan pemeriksaan dan pengujian secara laboratoris, sehingga diperlukan adanya dokumen jaminan atas kehalalan karkas, daging dan jeroan tersebut dalam bentuk sertifikasi halal demi terwujudnya jaminan kehalalan bagi pangan segar asal hewan yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Secara operasional Sistem Jaminan Halal dirancang, diimplementasikan dan dijaga oleh pihak produsen dengan tujuan menjaga kelangsungan status halal dari proses maupun manajemen produksi.
        Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasi- kan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.
        Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya.

        Oleh karena itu, perlu ada komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran. Sistem Jaminan Halal dalam penerapannya harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima aspek:
a.    Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal Policy)
b.    Panduan Halal (Halal Guidelines)
c.    Sistem Organisasi Halal
d.    Uraian titik kendali kritis keharaman produk
e.    Sistem audit halal internal.
        Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik. Manual halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan. Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan di lingkungan perusahaan. Secara teknis manual halal dijabarkan dalam bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP) untuk tiap bidang yang terlibat dalam produksi secara halal.
        Pada saat pihak perusahaan mengajukan sertifikat halal ke lembaga sertifikasi, telah disepakati bahwa perusahaan diwajibkan untuk menunjuk salah seorang karyawannya untuk bertugas menjadi Auditor Halal Internal. Tugas dan tanggung jawab seorang auditor internal terhadap kehalalan produk, selain bertanggung jawab ke lembaga sertifikasi, juga bertanggung jawab secara organisatoris kepada atasan di perusahaan.

        Dalam melakukan pengawasan terhadap proses pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah RI, maka petugas karantina perlu diberikan pemahaman dan kewenangan dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan tersebut. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kehalalan karkas, daging dan jeroan di tempat-tempat pemasukan oleh petugas karantina.

1.2.    Maksud dan Tujuan
        Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi petugas karantina hewan dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan dokumen sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
        Tujuan dari Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan adalah meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dokumen sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan yang dimasukkan dari luar negeri pada tempat-tempat pemasukan di Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPT KP) lingkup Badan Karantina Pertanian.
1.3.    Dasar Hukum
1.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482)
2.    Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Eshtablishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
3.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
5.    5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
6.    6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
7.    7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);
8.    8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
9.    . Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Giji Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
10.    10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri;



1.5 Definisi dan singkatan
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1.    Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi sampai dengan pengemasan serta transportasinya.
2.     Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian kehalalannya sampai ke tangan konsumen.
3.    Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo halal pada kemasan.
4.    Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung.
5.    Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.
6.    Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.
7.    Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
8.    Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.
9.    Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
10.    Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan menurut syariah Islam.
11.    Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan.
12.    Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
13.    Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti, dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia.
14.    Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.
15.    Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging olahan.
16.    Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
17.    Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
18.    Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
19.    Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan bahan berbahaya lainnya.
20.    Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.
21.    Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke dalam wilayah Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
    Karkas, daging, dan/atau jeroan adalah produk pangan asal hewan yang masih segar dan atau yang dapat diolah lebih lanjut untuk keperluan konsumsi (pangan). Berkaitan dengan kehalalan produk pangan asal hewan tersebut, maka pengaturan terhadap pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus dipersyaratkan dari segi kehalalannnya, sehingga objek pengawasan kehalalan adalah memastikan bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut memiliki dokumen penerapan sistem jaminan halal, tidak mengandung unsur haram dan diproses sesuai syariat Islam.
2.1 Dokumen Kehalalan
    Objek pengawasan kehalalan pada proses produksi karkas, daging dan/atau jeroan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan dokumen kehalalan mulai dari awal produksi sampai pengangkutan ke negara tujuan. Beberapa dokumen kehalalan tersebut antara lain:
1. Sertifikat Halal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri yang diakui oleh MUI yang menyatakan bahwa pemotongan hewan sampai proses pengemasan dilakukan berdasarkan syariat Islam
2. Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut
a. Label pada kemasan
b. Segel dan Nomor Segel Kontainer
c. Nomor Kontainer
d. Nomor Pengapalan (Shipping Mark)
Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut tersebut diatas, harus tertuang dalam sertifikat kesehatan (sanitasi) dan/atau sertifikat kehalalan untuk setiap kontainer atau setiap pengapalan.
2.2. Pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan
    Jenis karkas, daging, dan/atau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia adalah sesuai dengan yang tertera dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu dalam melakukan pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan harus memenuhi pesyaratan-persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam permentan tersebut. Dengan demikian persyaratan teknis pengemasan penyimpanan dan pengangkutan karkas, daging dan/atau jeroan merupakan objek pengawasan bagi petugas karantina di tempat pemasukan.


BAB III
ISI
    Upaya untuk menghasilkan produk pangan asal hewan tidak terlepas dari adanya tahapan atau proses-proses yang dilakukan/dilalui untuk menghasilkannya. Tahapan atau proses itu sangat berpengaruh dalam menentukan halal atau tidaknya produk pangan asal hewan tersebut. Karkas, daging dan/atau jeroan adalah jenis pangan segar asal hewan yang dapat bersifat halal atau haram, sehingga dalam upaya untuk memenuhi persyaratan kehalalan pada karkas, daging dan/atau jeroan tersebut, tahapan atau proses yang dilalui untuk menghasilkannya harus berasal dari hewan yang halal, disembelih dan diproses sesuai syariat Islam serta dalam proses produksi, pengemasan dan pengangkutannya tidak mengandung, terkontaminasi dan tercampur dengan produk pangan asal hewan yang diragukan kehalalannya.

    Persyaratan kehalalan adalah persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pada hukum syariah Islam dan persyaratan tersebut harus dipenuhi, apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan menerapkan sistem jaminan produk halal yang telah disusun untuk tujuan konsumsi di negara-negara muslim. Program persyaratan halal dalam operasionalisasinya meliputi program sanitasi yang diperlukan dalam rangka mencegah terjadinya kontaminasi bahaya yang menyebabkan tidak halalnya produk pangan dan program cara berproduksi yang baik dan halal.
    Dokumen kehalalan
    Merupakan dokumen yang menjadi bukti penerapan sistem jaminan halal mulai dari praproduksi sampai pasca produksi, yang meliputi:
•    Jadwal atau waktu pemotongan halal untuk produk yang ditetapkan dan tertuang dalam dokumen kehalalan.
•    Tempat pemotongan yang dibuat sedemikian rupa sehingga hewan dapat dipotong secara halal (menghadap kiblat)
•    Pemotong memahami dan memenuhi syarat sebagai juru potong halal
•    Pemingsanan harus dipastikan tidak menyebabkan hewan sampai mati sebelum disembelih
•    Proses pengeluaran darah telah sempurna sebelum diproses lebih lanjut.

    Persyaratan pengemasan penyimpanan dan pengangkutan
    Untuk menjamin tidak terjadinya kontaminasi antara produk halal dengan yang tidak halal dalam pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan, maka dipersyaratkan:
•    Dalam pengemasan produk halal tidak boleh dikemas dalam satu kemasan (bercampur dengan produk yang tidak halal)
•    Apabila didalam satu kontainer terdapat beberapa kemasan yang berbeda waktu produksi halalnya maka setiap waktu produksi tersebut harus mempunyai sertifikat halal masing-masing.
•    Setiap kemasan yang diberi tanda/logo halal untuk memudahkan identifikasi, bentuk, ukuran dan warna besar tanda/logo halal tersebut sesuai yang telah disepakati antara MUI dengan lembaga sertifikasi halal oleh negara asal /pengekspor , seperti dalam lampiran.
•    Dalam penyimpanan dan pengangkutan tidak mencampurkan kemasan yang halal dengan yang tidak halal.
•    Bahwa bukti tidak adanya pencampuran dituangkan melalui pencantuman nomor kontainer atau nomor segel kontainer di dalam sertifikat kehalalan.




BAB VI
PENUTUP

    Masalah kehalalan karkas daging dan jeroan yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia khususnya yang berasal dari luar negeri merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Secara internal pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk yang diimpor, melalui sebuah pedoman umum yang baku.
    Pedoman pengawasan halal ini cukup penting sebagai landasan bagi petugas karantina dalam melakukan pengawasan di tempat pemasukan, sehingga pemasukan daging yang diragukan kehalalannya ataupun yang tidak disertai dokumen kehalalan dapat dikurangi.

    Dengan pedoman ini pihak pemerintah bersama dengan lembaga non pemerintah yang terlibat dalam regulasi dan pengawasan halal dapat bekerja sama dan berkoordinasi lebih baik, sehingga masyarakat mendapat kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk impor khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Sumber:
http://karantina.deptan.go.id/inkehati/index.php?link=hayat1

Sabtu, 05 Mei 2012

Aspek Halal Dari Segi Ekonomi


PENDAHULUAN

Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.

PEMBAHASAN

Sertifikasi Kehalalan

Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan. Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Syarat kehalalan produk tersebut meliputi:
  1. Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
  2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
  3. Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat Islam.
  4. Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya harus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.
Setelah itu, tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan dan audit ke lokasi produsen yang bersangkutan serta penelitian dalam laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik pemrosesan, dan bidang lain yang berkait. Bila memenuhi persyaratan, laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan kehalalan produk tersebut.
Tidak semua laporan yang diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh Komisi Fatwa MUI. Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum memenuhi persyaratan. Dalam kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan MUI adalah hakim yang memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging yang diekspor sertifikat diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang waktu tersebut, produsen harus bisa menjamin kehalalan produknya. Proses penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor Halal Internal untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut disyaratkan harus beragama Islam dan berasal dari bagian terkait dengan produksi halal. Hasil audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM MUI secara periodik (enam bulan sekali) dan bila diperlukan LPPOM MUI melakukan inspeksi mendadak dengan membawa surat tugas.

Kiprah internasional

Selain mengadakan sertifikasi halal di tingkat nasional, LPPOM MUI juga mengadakan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal di berbagai belahan dunia melalui Dewan Halal Dunia (World Halal Council, WHC) yang dirintis sejak tanggal 6 Desember 1999. Tema besar yang diangkat dewan ini adalah masalah standardisasi halal termasuk prosedur maupun sertifikasinya, mengingat organisasi yang mengeluarkan sertifikat di berbagai negara memiliki prosedur dan standar yang berbeda-beda. Sebagai langkah awal, WHC menerapkan sertifikasi dan standardisasi halal yang digunakan di Indonesia. WHC berniat mengajukan standar halal kepada lembaga internasional WTO (World Trade Organization).
PENUTUP 
Dapat disimpulkan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika. Tulisan halal sangat penting karena dalam hukum Islam memakan makan haram sangatlah dilarang.
sumber: id.wikipedia.org/wiki/Halal

Perusahaan yang Melanggar Aspek Hukum yang Di Lihat dari Etika Moral

BAB I
PENDAHULUAN
Ø  Latar Belakang
            Salah satu aspek yang sangat populer dan perlu mendapat perhatian dalam dunia bisnis ini adalah norma dan etika bisnis. Etika bisnis selain dapat menjamin kepercayaan dan loyalitas dari semua unsur yang berpengaruh pada perusahaan, juga sangat menentukan maju atau mundurnya perusahaan.
Etika, pada dasarnya adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Oleh karena itu, perilaku etika berperan melakukan ‘apa yang benar’ dan ‘baik’ untuk menentang apa yang ‘salah’ dan ‘buruk’. Etika bisnis sangat penting untuk mempertahankan loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan perusahaan. Mengapa demikian? Karena semua keputusan perusahaan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemilik kepentingan. Pemilik kepentingan adalah semua individu atau kelompok yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan. Ada dua jenis pemilik kepentingan yang berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu pemilik kepentingan internal dan eksternal. Investor, karyawan, manajemen, dan pimpinan perusahaan merupakan pemilik kepentingan internal, sedangkan pelanggan, asosiasi dagang, kreditor, pemasok, pemerintah, masyarakat umum, kelompok khusus yang berkepentingan terhadap perusahaan merupakan pemilik kepentingan eksternal. Pihak-pihak ini sangat menentukan keputusan dan keberhasilan perusahaan. Yang termasuk kelompok pemilik kepentingan yang memengaruhi keputusan bisnis adalah:
(1) Para pengusaha/mitra usaha,
(2) Petani dan pemasok bahan baku,
(3) Organisasi pekerja,
(4) Pemerintah,
(5) Bank,
(6) Investor,
(7) Masyarakat umum,dan
(8) Pelanggan dan konsumen.
Selain kelompok-kelompok tersebut di atas, beberapa kelompok lain yang berperan dalam perusahaan adalah para pemilik kepentingan kunci (key stakeholders) seperti manajer, direktur, dan kelompok khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
Ø  Siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika dalam perusahaan?
            Pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu:
(1)   Manajemen Tidak bermoral.
Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, demi keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakkan manajemen immoral adalah kerakusan/ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen tidak bermoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta, dan sebagainya (Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation, 1996, hal. 21).
(2)   Manajemen Amoral.
Tujuan utama dari manajemen amoral adalah laba, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu conoth dari manajemen amoral adalah penggunaan uji kejujuran detektor bagi calon karyawan.
(3)   Manajemen Bermoral
Manajemen bermoral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku.
Menurut pendapat Michael Josephson, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu:
(1) Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, terus-terang, tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, tidak berbohong.
(2) Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan penuh pendirian/keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat, dan dapat dipercaya.
(3) Memeliharan janji, yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, tidak menginterpretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalitas dengan dalih ketidakrelaan.
(4) Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara, tidak menggunakan atau memperlihatkan informasi rahasia, begitu juga dalam suatu konteks profesional, menjaga/melindungi kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, dan menghindari hal yang tidak pantas serta konflik kepentingan.
(5) Kewajaran/keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia mengakui kesalahan, memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaa, serta tidak bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
(6) Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan, tolong menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
(7) Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat orang lain, kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, tidak merendahkan dan mempermalukan martabat orang lain.
(8) Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu mentaati hukum/aturan, penuh kesadaran sosial, dan menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
(9) Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam pertemuan pesonal maupun pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat dipercaya/diandalkan, rajin penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan kemampuan terbaik, dan mengembangkan serta mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
(10) Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung jawab atas keputusan dan konsekuensinya serta selalu memberi contoh.
Ø  Stansar Etika dapat dipertahankan melalui:
(1) Ciptakan kepercayaan perusahaan. Kepercayaan perusahaan dalam menetapkan nilai-nilai perusahaan yang mendasari tanggung jawab etika bagi pemilik kepentingan.
(2) Kembangkan kode etik. Kode etik merupakan suatu catatan tentang standar tingkah laku dan prinsip-prinsip etika yang diharapkan perusahaan dari karyawan.
(3) Jalankan kode etik secara adil dan konsisten. Manajer harus mengambil tindakan apabila mereka melanggar etika. Bila karyawan mengetahui bahwa yang melanggar etika tidak dihukum, maka kode etik menjadi tidak berarti apa-apa.
(4) Lindungi hak perorangan. Akhir dari semua keputusan setiap etika sangat bergantung pada individu. Melindungi seseorang dengan kekuatan prinsip morl dan nilainya merupakan jaminan terbaik untuk menghindari untuk menghindari penyimpangan etika. Untuk membuat keputusan etika seseorang harus memiliki: (a) Komitmen etika, yaitu tekad seseorang untuk bertindak secara etis dan melakukan sesuatu yang benar; (b) Kesadaran etika, yaitu kemampuan kompetensi, yaitu kemampuan untuk menggunakan suara pikiran moral dan mengembangkan strategi pemecahan masalah secara praktis.
(5) Adakan pelatihan etika. Workshop merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran para karyawan.
(6) Lakukan audit etika secara periodik. Audit merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi efektivitas sistem etika. Hasil evaluasi tersebut akan memberikan suatu sinyal kepada karyawan bahwa etika bukan sekadar gurauan.
(7) Pertahankan standar tinggi tentang tingkah laku, tidak hanya aturan. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatur norma dan etika. Akan tetapi, manajer bisa saja membolehkan orang untuk mengetahui tingkat penampilan yang mereka harapkan. Standar tingkah laku sangat penting untuk menekankan betapa pentingnya etika dalam organisasi. Setiap karyawan harus mengetahui bahwa etika tidak bisa dinegosiasi atau ditawar.
(8) Hindari contoh etika yang tercela setiap saat dan etika diawali dari atasan. Atasan harus memberi contoh dan menaruh kepercayaan kepada bawahannya.
(9) Ciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah sangat penting, yaitu untuk menginformasikan barang dan jasa yang kita hasilkan dan menerima aspirasi untuk perbaikan perusahaan.
(10) Libatkan karyawan dalam mempertahankan standar etika. Para karyawan diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik tentang bagaimana standar etika dipertahankan.
     Selain etika, yang tidak kalah pentingnya adalah pertanggungjawaban sosial perusahaan. Eika sangat berpengaruh terhadap tingkah laku individual. Tanggung jawab sosial mencoba menjembatani komitmen individu dan kelompok dalam suatu lingkungan sosial, seperti pelanggan, perusahaan lain, karyawan, dan investor. Tanggung jawab sosial menyeimbangkan komitmen-komitmen yang berbeda. Menurut Zimmerer, ada beberapa macam pertanggungjawaban perusahaan, yaitu:
(1)     Tanggung jawab terhadap lingkungan. Perusahaan harus ramah lingkungan, artinya perusahaan harus memerhatikan, melestarikan, dan menjaga lingkungan, misalnya tidak membuang limbah yang mencemari lingkungan, berusaha mendaur ulang limbah yang merusak lingkungan, dan menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.
(2) Tanggung jawab terhadap karyawan. Semua aktivitas manajemen sumber daya manusia seperti peneriman karyawan baru, pengupahan, pelatihan, promosi, dan kompensasi merupakan tanggung jawaab perusahaan terhadap karyawan. Tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan dapat dilakukan dengan cara:
(a) Mendengarkan dan menghormati pendapat karyawan.
(b) Meminta input kepada karyawan.
(c) Memberikan umpan balik positif maupun negatif.
(d) Selalu menekankan tentang kepercayaan kepada karyawan.
(e) Membiarkan karyawan mengetahui apa yang sebenarnya mereka harapkan.
(f) Memberikan imbalan kepada karyawan yang bekerja dengan baik.
(g) Memberi kepercayaan kepada karyawan.
(3) Tanggung jawab terhadap pelanggan. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan menurut Ronald J. Ebert (2000:88) ada dua kategori, yaitu (1) Menyediakan barang dan jasa yang berkualitas; dan (2) Memberikan harga produk dan jasa yang adil dan wajar. Tanggung jawab sosial perusahaan juga termasuk melindungi hak-hak pelanggan. Menurutnya, ada empat hak pelanggan, yaitu:
(a) Hak mendapatkan produk yang aman.
(b) Hak mendapatkan informasi segala aspek produk.
(c) Hak untuk didengar.
(d) Hak memilih apa yang akan dibeli.
Sedangkan menurut Zimmerer (1996), hak-hak pelanggan yang harus dilindungi meliputi:
(a) Hak keamanan. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan harus berkualitas dan memberikan rasa aman, demikian juga kemasannya.
(b) Hak mengetahui. Konsumen berhak untuk mengetahui barang dan jasa yang mereka beli, termasuk perusahaan yang menghasilkan barang tersebut.
(c) Hak untuk didengar. Komunikasi dua arah harus dibentuk, yaitu untuk menyalurkan keluhan produk dan jasa dari konsumen dan untuk menyampaikan berbagai informasi barang dan jasa dari perusahaan.
(d) Hak atas pendidikan. Pelanggan berhak atas pendidikan, misalnya pendidikan tentang bagaimana menggunakan dan memelihara produk. Perusahaan harus menyediakan program pendidikan agar pelanggan memperoleh informasi barang dan jasa yang akan dibelinya.
(e) Hak untuk memilih. Hal terpenting dalam persaingan adalah memberikan hak untuk memilih barang dan jasa yang mereka perlukan. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tidak mengganggu persaingan dan mengabaikan undang-undang antimonopoli (antitrust).
(4)   Tanggung jawab terhadap investor. Tanggung jawab perusahaan terhadap investor adalah menyediakan pengembalian investasi yang menarik, seperti memaksimumkan laba. Selain itu, perusahaan juga bertanggung jawab untuk melaporkan kinerja keuangan kepada investor seakurat mungkin.
Ø  Faktor-faktor pebisnis melakukan pelanggaran etika bisnis
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pebisnis dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satu hal tersebut adalah untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan dampak buruk yang terjadi selanjutnya. Faktor lain yang membuat pebisnis melakukan pelanggaran antara lain :
  1. Banyaknya kompetitor baru dengan produk mereka yang lebih menarik
  2. Ingin menambah pangsa pasar
  3. Ingin menguasai pasar.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor pertama adalah faktor yang memiliki pengaruh paling kuat. Untuk mempertahankan produk perusahaan tetap menjadi yang utama, dibuatlah iklan dengan sindiran-sindiran pada produk lain. Iklan dibuat hanya untuk mengunggulkann produk sendiri, tanpa ada keunggulan dari produk tersebut. Iklan hanya bertujuan untuk menjelek-jelekkan produk iklan lain.
Selain ketiga faktor tersebut, masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Gwynn Nettler dalam bukunya Lying, Cheating and Stealing memberikan kesimpulan tentang sebab-sebab seseorang berbuat curang, yaitu :
  1. Orang yang sering mengalami kegagalan cenderung sering melakukan kecurangan.
  2. Orang yang tidak disukai atau tidak menyukai dirinya sendiri cenderung menjadi pendusta.
  3.  Orang yang hanya menuruti kata hatinya, bingung dan tidak dapat menangguhkan keinginan memuaskan hatinya, cenderung berbuat curang.
  4. Orang yang memiliki hati nurani (mempunyai rasa takut, prihatin dan rasa tersiksa) akan lebih mempunyai rasa melawan terhadap godaan untuk berbuat curang.
  5. Orang yang cerdas (intelligent) cenderung menjadi lebih jujur dari pada orang yang dungu (ignorant).
  6. Orang yang berkedudukan menengah atau tinggi cenderung menjadi lebih jujur.
  7. Kesempatan yang mudah untuk berbuat curang atau mencuri, akan mendorong orang melakukannya.
  8. Masing-masing individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan karena itu menempati tingkat yang berbeda, sehingga mudah tergerak untuk berbohong, berlaku curang atau menjadi pencuri.
  9. Kehendak berbohong, main curang dan mencuri akan meningkat apabila orang mendapat tekanan yang besar untuk mencapai tujuan yang dirasakannya sangat penting.
  10. Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa mendorong untuk berlaku tidak jujur.
BAB III
PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa loyalitas pemilik kepentingan sangat tergantung pada kepuasan yang mereka peroleh.. Oleh karena loyalitas dapat mendorong deferensiasi, maka loyalitas pemilik kepentingan akan menjadi hambatan bagi para pesaing.” Ingat bahwa diferensiasi merupakan bagian dari strategi generik untuk memenangkan persaingan .
Selain etika dan perilaku, yang tidak kalah penting dalam bisnis adalah norma etika. Ada tiga tingkatan norma etika, yaitu:
(1)   Hukum,
berlaku bagi masyarakat secara umum yang mengatur perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hukum hanya mengatur standar perilaku minimum.
(2)   Kebijakan dan prosedur organisasi,
memberi arahan khusus bagi setiap orang dalam organisasi dalam mengambil keputusan sehari-hari. Para karyawan akan bekerja sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan/organisasi.
(3)   Moral sikap mental individual,
sangat penting untuk menghadapi suatu keputusan yang tidak diatur oleh aturan formal. Nilai moral dan sikap mental individual biasanya berasal dari keluarga, agama, dan sekolah. Sebagaiman lain yang menentukan etika perilaku adalah pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Kebijakan dan aturan perusahaan sangat penting terutama untuk membantu, mengurangi, dan mempertinggi pemahaman tentang etika perilaku.
Ø  Saran
            Hal yang terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya selalu berusaha berada dalam kerangka etis, yaitu tidak merugikan siapapun secara moral. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
  1. Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal
  2. Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja
  3. Akan melindungi prinsip kebebasan berniaga
  4. Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
            Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, ataupun larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
            Memang benar. kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-rang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan atau manipulasi. Tetapi sebenarnya, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
            Dalam bisnis, sebagaiman kehidupan, memutuskan apa yang benar dan yang salah dalam situasi tertentu tidaklah suatu pilihan yang mudah untuk dilakukan. Bisnis memiliki tanggung jawab yang besar kepada pelanggan, karyawan, investor, dan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang konflik muncul dalam usaha melayani berbagai kebutuhan dari beragam pihak. Dalam kasus-kasus lain, konflik bisa muncul antara keputusan yang ideal dengan keputusan praktis dalam situasi tertentu.
Ada 4 kekuatan utama yang membentuk etika bisnis dan tanggung jawab sosial, yaitu:
-          kekuatan individual,
-          oraganisasional,
-          masyarakat, dan
-          hukum.
            Setiap kekuatan ini tidak beroperasi dalam ruang hampa, tapi masing-masing berinteraksi dengan ketiga kekuatan lainnya, dan interaksi ini mempunyai pengaruh yang kuat baik terhadap kekuatan maupun arah dari masing-masing pengaruh.
Sumber:
http://alviyana.student.fkip.uns.ac.id/2012/01/03/makalah-etika-bisnis-apakah-kegiatan-berbisnis-di-indonesia-sesuai-dengan-etika-bisnis/