Keputusan
parlemen untuk menunda kenaikan harga bahan bakar minyak per 1 April 2012
mengingatkan saya pada lakon drama ”Musuh Masyarakat” yang ditulis
Henrik Ibsen 130 tahun lalu. Drama memukau yang diterjemahkan oleh Asrul Sani
ke dalam bahasa Indonesia ini bicara betapa kompromi politik dan populisme bisa
menjadi alat yang efektif dalam menindas akal sehat.
Kita bisa
saja tidak sependapat dengan tokoh Dr Stockman dalam naskah itu karena toh
demokrasi tak dirancang untuk mencapai kesempurnaan, tetapi mencegah
kesewenang-wenangan. Benar keputusan ini harus dihormati. Benar sekarang ada
ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jika harga
rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP)
mencapai 120,75 dollar AS dalam enam bulan terakhir. Masalahnya, bagaimana jika
akrobat politik itu kemudian mengorbankan keadilan, stabilitas ekonomi makro,
dan lingkungan?
Dalam
Analisis Ekonomi terdahulu, saya menulis bahwa soal utama subsidi BBM bukanlah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan selalu punya
jalan keluar untuk APBN, walau tak mudah. Soal utama adalah keadilan bagi
penduduk miskin.
Tak adil
apabila dana infrastruktur untuk penduduk miskin dikorbankan demi subsidi BBM.
Mereka yang kaya bisa membangun pembangkit listrik, jalan, pelabuhan, akses
air, dan bahkan menyediakan keamanannya sendiri, sedangkan yang miskin: amat
bergantung pada infrastruktur publik.
Dalam
konsep Amartya Sen, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan
sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Jadi, kesejahteraan
tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktivitas yang
memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Dan aktivitas itu hanya mungkin
apabila ada akses, termasuk infrastruktur. Akrobat politik telah memotong akses
itu.
Selain
itu, disparitas harga BBM bersubsidi dengan harga dunia—karena penundaan ini—
juga akan mendorong penyelundupan. Akibatnya konsumsi BBM bersubsidi akan
meningkat. Jika volume konsumsi BBM meningkat menjadi 45 juta kiloliter dengan
ICP 115 dollar AS per barrel, maka subsidi BBM mencapai Rp 227,7 triliun,
sementara subsidi listrik Rp 93,5 triliun. Total Rp 321,2 triliun! Padahal,
belanja modal untuk infrastruktur hanya Rp 168 triliun, dan bantuan sosial
hanya Rp 55,4 triliun.
Adilkah
ini? Siapa pengguna BBM? Data menunjukkan: sepeda motor (40 persen), mobil
pribadi (53 persen), angkutan barang (4 persen), dan angkutan publik (3
persen). Mereka yang memiliki mobil dan sepeda motor tentunya sulit
dikategorikan sangat miskin. Saya tentu sangat mendukung desakan agar pemerintah
memotong belanja yang tak perlu, dan mengikis korupsi. Tapi bukan memotong
akses infrastruktur bagi penduduk miskin demi subsidi BBM yang dinikmati oleh
para penyelundup dan kelompok menengah atas.
Penundaan
kenaikan harga BBM ini juga menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Semakin panjang
ketidakpastian, semakin banyak BBM hilang dari pasaran. Semakin tinggi
ekspektasi inflasi. Tengok saja harga akan terus naik sejak sekarang. Dampak
inflasi kenaikan BBM ini bisa lebih tinggi dari perkiraan awal. Ini yang
disebut inflation overhang, inflasi menggantung yang membayangi ekspektasi
pelaku ekonomi. Masyarakat tahu, satu hari harga BBM akan dinaikkan. Karena
itu, orang mulai menaikkan harga sejak sekarang.
Ekspektasi
inflasi yang tinggi ini akan menekan nilai tukar rupiah (international
Fisher effect). Selain itu, konsumsi premium yang melonjak juga akan
meningkatkan impor minyak. Padahal, di sisi lain, pertumbuhan ekspor mulai
melambat karena situasi global. Akibatnya, defisit transaksi berjalan akan
meningkat, rupiah akan tertekan. Inilah risiko ekonomi makro yang harus dibayar
dari kompromi itu. Di sini Bank Indonesia perlu berhati-hati sekali dalam
mengelola ekspektasi inflasi.
Dua minggu
lalu dalam Asian Economic Policy Review di Tokyo, sekelompok ekonom
membahas kebijakan fiskal di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia, termasuk
Indonesia. Di sana, Alan Auerbach, ekonom kenamaan dunia dalam hal fiskal,
menyampaikan bagaimana kendala politik menyulitkan kebijakan fiskal di AS. Jose
Campa, ekonom Harvard dan mantan Menteri Keuangan Spanyol, juga bercerita hal
yang sama untuk Eropa.
Menariknya,
ketika saya menyampaikan risalah tentang fiskal di Indonesia, hampir semuanya
memuji Indonesia. Bahkan mantan Menteri Keuangan Thailand menyatakan bahwa
Thailand harus meniru Indonesia dalam membatasi defisit anggaran. Satu-satunya
kritik—persis seperti argumen saya— mengapa subsidi BBM tidak dialokasikan
untuk infrastruktur dan penduduk miskin.
Jawaban
saya ketika itu: rasanya parlemen dan Pemerintah Indonesia akan menggunakan
akal sehat soal BBM. Saya salah: yang terjadi adalah akrobat yang mengorbankan
keadilan bagi yang miskin, demi popularitas politik. Kita juga melihat absennya
kepemimpinan pemerintah dalam mengelola koalisi, dalam mengelola reformasi.
Suara
untuk memotong anggaran yang tak perlu, mengikis korupsi, dan memotong subsidi
BBM hanya didengar ketika defisit APBN membengkak. Padahal, dalam kondisi
surplus APBN pun, langkah itu harus tetap dilakukan. Reformasi hanya dijalankan
kalau pemerintah terdesak. Dalam keadaan baik? Rasionalitas ekonomi kalah oleh
kegemaran memupuk popularitas politik. Akibatnya, akal sehat ditindas. Persis
seperti drama Ibsen 130 tahun lalu.
Sumber :
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/akrobat-politik-dan-subsidi-bbm.html
Pendapat saya :
"akibat ada nya rencana
kenaikan BMM terjadi kericuhan. Bukan hanya di ibu kota saja melainkan di
hampir seluruh kota-kota besar. Sehingga tidak sedikit juga terjadi kerusakan
parah pada fasilitas-faasilitas umum . bukan hanya itu ada pula pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan keadaan ini. Misal ,di pasar
tradisional ada beberapa bahan baku yang mengalami kenaikan, padahal BBM belum
resmi naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar