BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas (± 88%)
penduduknya beragama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah
diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan kehalalan terhadap
setiap produksi pangan segar asal hewan khususnya karkas, daging dan
jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Pengaturan jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan memerlukan
pengkajian terlebih dahulu, antara lain analisis kandungan unsur haram
dan najis, pemingsanan, pemotongan, penyimpanan, pengangkutan dan
pemasaran melalui pengendalian titik kritis, sehingga dapat diketahui
proses pemotongan, penanganan, distribusinya sampai ke tangan konsumen.
Mengingat pentingnya masalahan kehalalan karkas, daging dan
jeroan, maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, menyatakan bahwa label
pangan memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Dalam Pasal
58 diatur mengenai sanksi yang diberikan dengan ancaman pidana maksimal 3
(tiga) tahun penjara dan/atau denda Rp 360 juta, apabila terbukti
memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau
label bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut sesuai menurut
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.
Disamping itu, menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan
dalam label. Demikian juga dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, terdapat 3 (tiga) pasal yang berkaitan
dengan sertifikasi halal yaitu dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 dan
Pasal 11. Ketentuan mengenai halal juga diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 924/MENKES/SKVII/1996 tentang Perubahan
atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82.MENKES/SK/I/1996 tentang
Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yaitu dalam Pasal 8,
Pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Selain itu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan karantina
hewan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan diamanatkan pada Pasal 8 bahwa dalam hal-hal
tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan atau hama dan
penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, pemerintah dapat
menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 serta dipertegas kembali pada Pasal 5
ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang
Karantina Hewan yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap produk asal
hewan khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan
ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun tidak secara
spesifik mengatur tentang persyaratan kehalalannya.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, juga mengatur mengenai kehalalan yaitu dalam Pasal 58,
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan
pengawasan , pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan
registrasi dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan
halal. Dalam pasal tersebut juga diatur bahwa produk hewan yang
diproduksi dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan
sertifikat halal.
Dalam upaya menerapkan sistem jaminan kehalalan terhadap
pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke Indonesia, maka
perlu adanya pengaturan dari aspek pengawasan kehalalan di tempat-tempat
pemasukan dalam wilayah kerja UPT Karatina Pertanian. Oleh sebab itu
perlu disadari bahwa aspek-aspek kehalalan karkas, daging dan jeroan
yang dimasukkan dari luar negeri tidak semuanya dapat dideteksi
sekalipun dengan pemeriksaan dan pengujian secara laboratoris, sehingga
diperlukan adanya dokumen jaminan atas kehalalan karkas, daging dan
jeroan tersebut dalam bentuk sertifikasi halal demi terwujudnya jaminan
kehalalan bagi pangan segar asal hewan yang akan dikonsumsi masyarakat
Indonesia. Secara operasional Sistem Jaminan Halal dirancang,
diimplementasikan dan dijaga oleh pihak produsen dengan tujuan menjaga
kelangsungan status halal dari proses maupun manajemen produksi.
Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang
mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasi- kan
konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika
usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan,
implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan
yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan
sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai
bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang
berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian
produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat
dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.
Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep
Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu
yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem
jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak
pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi
permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan
harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari
penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan
pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan
pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang
digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan
produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya.
Oleh karena itu, perlu ada komitmen dari seluruh bagian
organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai
distribusi pemasaran. Sistem Jaminan Halal dalam penerapannya harus
diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima
aspek:
a. Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal Policy)
b. Panduan Halal (Halal Guidelines)
c. Sistem Organisasi Halal
d. Uraian titik kendali kritis keharaman produk
e. Sistem audit halal internal.
Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan
kondisi masing-masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik.
Manual halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan.
Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan di
lingkungan perusahaan. Secara teknis manual halal dijabarkan dalam
bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP)
untuk tiap bidang yang terlibat dalam produksi secara halal.
Pada saat pihak perusahaan mengajukan sertifikat halal ke
lembaga sertifikasi, telah disepakati bahwa perusahaan diwajibkan untuk
menunjuk salah seorang karyawannya untuk bertugas menjadi Auditor Halal
Internal. Tugas dan tanggung jawab seorang auditor internal terhadap
kehalalan produk, selain bertanggung jawab ke lembaga sertifikasi, juga
bertanggung jawab secara organisatoris kepada atasan di perusahaan.
Dalam melakukan pengawasan terhadap proses pemasukan karkas,
daging dan jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah RI, maka petugas
karantina perlu diberikan pemahaman dan kewenangan dalam menjalankan
fungsi pengawasan terhadap sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan
jeroan yang dimasukkan tersebut. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi
petunjuk pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kehalalan karkas, daging
dan jeroan di tempat-tempat pemasukan oleh petugas karantina.
1.2. Maksud dan Tujuan
Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi petugas karantina hewan
dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan dokumen sistem jaminan
kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
Tujuan dari Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan
jeroan adalah meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dokumen
sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan yang dimasukkan
dari luar negeri pada tempat-tempat pemasukan di Unit Pelaksana Teknis
Karantina Pertanian (UPT KP) lingkup Badan Karantina Pertanian.
1.3. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3482)
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Eshtablishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia).
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara
Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821);
5. 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
6. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3253);
7. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3867);
8. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina
Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4002);
9. . Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Giji Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4424);
10. 10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 Tahun 2009 tentang
Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari
Luar Negeri;
1.5 Definisi dan singkatan
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah
gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik
kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai
ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging
dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging
dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi
sampai dengan pengemasan serta transportasinya.
2. Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi
karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau
Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian
kehalalannya sampai ke tangan konsumen.
3. Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian
hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah
sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang
dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo
halal pada kemasan.
4. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung
maupun tidak langsung.
5. Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan
untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa
atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.
6. Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan
mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas,
daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada,
dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.
7. Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau
gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat
tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang
menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
8. Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan
kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal
yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.
9. Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas,
daging dan/atau jeroan.
10. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah
musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk
menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan
menurut syariah Islam.
11. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan
hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan
pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan.
12. Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang
selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan
karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
13. Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang
didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti,
dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai
dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta
lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain
melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia.
14. Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah
disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak
abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.
15. Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang
disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan
aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang
atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan
cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging
olahan.
16. Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang
berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar
serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah
diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
17. Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang
direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam
pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
18. Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan
oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau
badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau
jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
19. Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan
danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan
dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai
tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan
bahan berbahaya lainnya.
20. Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan
pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi
karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk
konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.
21. Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan
pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung
bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke
dalam wilayah Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Karkas, daging, dan/atau jeroan adalah produk pangan asal hewan yang
masih segar dan atau yang dapat diolah lebih lanjut untuk keperluan
konsumsi (pangan). Berkaitan dengan kehalalan produk pangan asal hewan
tersebut, maka pengaturan terhadap pemasukan karkas, daging, dan/atau
jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus
dipersyaratkan dari segi kehalalannnya, sehingga objek pengawasan
kehalalan adalah memastikan bahwa karkas, daging dan/atau jeroan
tersebut memiliki dokumen penerapan sistem jaminan halal, tidak
mengandung unsur haram dan diproses sesuai syariat Islam.
2.1 Dokumen Kehalalan
Objek pengawasan kehalalan pada proses produksi karkas, daging
dan/atau jeroan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan dokumen
kehalalan mulai dari awal produksi sampai pengangkutan ke negara tujuan.
Beberapa dokumen kehalalan tersebut antara lain:
1. Sertifikat Halal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri yang
diakui oleh MUI yang menyatakan bahwa pemotongan hewan sampai proses
pengemasan dilakukan berdasarkan syariat Islam
2. Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut
a. Label pada kemasan
b. Segel dan Nomor Segel Kontainer
c. Nomor Kontainer
d. Nomor Pengapalan (Shipping Mark)
Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut tersebut diatas, harus tertuang
dalam sertifikat kesehatan (sanitasi) dan/atau sertifikat kehalalan
untuk setiap kontainer atau setiap pengapalan.
2.2. Pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan
Jenis karkas, daging, dan/atau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam
wilayah Indonesia adalah sesuai dengan yang tertera dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan
Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Oleh sebab itu dalam melakukan pengemasan,
penyimpanan dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan
harus memenuhi pesyaratan-persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
permentan tersebut. Dengan demikian persyaratan teknis pengemasan
penyimpanan dan pengangkutan karkas, daging dan/atau jeroan merupakan
objek pengawasan bagi petugas karantina di tempat pemasukan.
BAB III
ISI
Upaya untuk menghasilkan produk pangan asal hewan tidak terlepas
dari adanya tahapan atau proses-proses yang dilakukan/dilalui untuk
menghasilkannya. Tahapan atau proses itu sangat berpengaruh dalam
menentukan halal atau tidaknya produk pangan asal hewan tersebut.
Karkas, daging dan/atau jeroan adalah jenis pangan segar asal hewan yang
dapat bersifat halal atau haram, sehingga dalam upaya untuk memenuhi
persyaratan kehalalan pada karkas, daging dan/atau jeroan tersebut,
tahapan atau proses yang dilalui untuk menghasilkannya harus berasal
dari hewan yang halal, disembelih dan diproses sesuai syariat Islam
serta dalam proses produksi, pengemasan dan pengangkutannya tidak
mengandung, terkontaminasi dan tercampur dengan produk pangan asal hewan
yang diragukan kehalalannya.
Persyaratan kehalalan adalah persyaratan yang ditetapkan berdasarkan
pada hukum syariah Islam dan persyaratan tersebut harus dipenuhi,
apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan
menerapkan sistem jaminan produk halal yang telah disusun untuk tujuan
konsumsi di negara-negara muslim. Program persyaratan halal dalam
operasionalisasinya meliputi program sanitasi yang diperlukan dalam
rangka mencegah terjadinya kontaminasi bahaya yang menyebabkan tidak
halalnya produk pangan dan program cara berproduksi yang baik dan halal.
Dokumen kehalalan
Merupakan dokumen yang menjadi bukti penerapan sistem jaminan halal
mulai dari praproduksi sampai pasca produksi, yang meliputi:
• Jadwal atau waktu pemotongan halal untuk produk yang ditetapkan dan tertuang dalam dokumen kehalalan.
• Tempat pemotongan yang dibuat sedemikian rupa sehingga hewan dapat dipotong secara halal (menghadap kiblat)
• Pemotong memahami dan memenuhi syarat sebagai juru potong halal
• Pemingsanan harus dipastikan tidak menyebabkan hewan sampai mati sebelum disembelih
• Proses pengeluaran darah telah sempurna sebelum diproses lebih lanjut.
Persyaratan pengemasan penyimpanan dan pengangkutan
Untuk menjamin tidak terjadinya kontaminasi antara produk halal
dengan yang tidak halal dalam pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan,
maka dipersyaratkan:
• Dalam pengemasan produk halal tidak boleh dikemas dalam satu kemasan (bercampur dengan produk yang tidak halal)
• Apabila didalam satu kontainer terdapat beberapa kemasan yang
berbeda waktu produksi halalnya maka setiap waktu produksi tersebut
harus mempunyai sertifikat halal masing-masing.
• Setiap kemasan yang diberi tanda/logo halal untuk memudahkan
identifikasi, bentuk, ukuran dan warna besar tanda/logo halal tersebut
sesuai yang telah disepakati antara MUI dengan lembaga sertifikasi halal
oleh negara asal /pengekspor , seperti dalam lampiran.
• Dalam penyimpanan dan pengangkutan tidak mencampurkan kemasan yang halal dengan yang tidak halal.
• Bahwa bukti tidak adanya pencampuran dituangkan melalui pencantuman
nomor kontainer atau nomor segel kontainer di dalam sertifikat
kehalalan.
BAB VI
PENUTUP
Masalah kehalalan karkas daging dan jeroan yang diedarkan dan
dipasarkan di Indonesia khususnya yang berasal dari luar negeri
merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai
pihak. Secara internal pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang
dapat menjamin kehalalan produk yang diimpor, melalui sebuah pedoman
umum yang baku.
Pedoman pengawasan halal ini cukup penting sebagai landasan bagi
petugas karantina dalam melakukan pengawasan di tempat pemasukan,
sehingga pemasukan daging yang diragukan kehalalannya ataupun yang tidak
disertai dokumen kehalalan dapat dikurangi.
Dengan pedoman ini pihak pemerintah bersama dengan lembaga non
pemerintah yang terlibat dalam regulasi dan pengawasan halal dapat
bekerja sama dan berkoordinasi lebih baik, sehingga masyarakat mendapat
kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk impor khususnya
karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia.
Sumber:
http://karantina.deptan.go.id/inkehati/index.php?link=hayat1